Masyarakat, terutama peminat sejarah dan sejarawan, barangkali terkejut setelah Fadli Zon Rabu pekan lalu meluncurkan bukunya berjudul Hari Terakhir Kartosoewirjo di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat.
Buku setebal 91 halaman ini bukan sekadar memuat 81 foto merekam jejak terakhir pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia itu. Mulai dari penangkapan hingga eksekusi dan pemakaman. Namun paling mengejutkan, politikus Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) ini menyebutkan eksekusi sekaligus penguburan jenazah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo berlangsung di Pulau Ubi pada 12 September 1962.
Selama ini, banyak pihak, termasuk keluarga meyakini lelaki yang dijemput ajal pada usia 57 tahun itu ditembak mati dan dimakamkan di Pulau Onrust. "Sekarang mana yang benar, di Onrust atau Pulau Ubi? Katanya selama ini di Onrust, saya selalu ke sana," kata Sardjono, putra bungsu Kartosloewirjo dari lima bersaudara kepada merdeka.com di Garut, Sabtu pekan lalu.
Hasil penelusuran Sniper Techno menemukan Pulau Ubi yang dimaksud Fadli, sesuai keterangan foto, ternyata ada dua, yakni Ubi Besar dan Ubi Kecil. Dua-duanya sudah tenggelam, bahkan jauh sebelum eksekusi atas Kartosoewirjo. "Pulau Ubi Kecil tenggelam pada 1949 dan Pulau Ubi Besar hilang pada 1956," ujar Lurah Pulau Untung Jawa Agung Maulana Saleh ketika ditemui terpisah Senin lalu dalam acara Lebaran Betawi di kelapa Gading, Jakarta Utara.
Ternyata tidak hanya Fadli yang memiliki arsip saat-saat terakhir kematian lelaki kelahiran Cepu, Jawa tengah, itu. Kumpulan foto serupa tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Bedanya, 28 foto ini tanpa keterangan dan ditempel di atas kertas berukuran folio.
Selain arsip foto, ada beberapa dokumen terkait Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan eksekusi mati Kartosoewirjo. Salah satunya menyebutkan lokasi eksekusi dan pusara Kartosoerwirjo di Pulau Nyamuk. Seperti Onrust, Ubi Besar, dan Ubi Kecil, pulau ini di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara.
Tulisan di atas kertas sudah berwarna kekuningan itu menggunakan mesin ketik tanpa kop sebuah lembaga. Dokumen ini merupakan putusan majelis hakim Mahkamah Angkatan Darat dalam Keadaan Perang untuk Djawa dan Madura diberi judul 'Pelaksanaan Hukuman Mati'
PELAKSANAAN
HUKUMAN
***MATI***
Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
yang menamakan dirinya Imam Negara Islam Indonesia (D.I)
Penjelasan:
1. Mahkamah Angkatan Darat dalam keadaan perang untuk Djawa dan Madura (MAHADPER) yang khusus dibentuk dan bertugas untuk mengadili pemimpin gerombolan D.I S.N. Kartosoewirjo, telah bersidang sejak tgl 14 Agustus 1962 sampai 16 Agustus 1962 di bangsal (Aula) Departemen Angkatan Darat Merdeka Barat Djakarta. Telah mendjatuhkan HUKUMAN MATI terhadap S.N. Kartosoewirjo.
2. Permohonan GRASI kepada Kepala Negara RI (Presiden Sukarno) telah ditolak pada tgl 12 September 1962.
3. Setelah ditolak, S.N. Kartosoewirjo mendjalankan HUKUMAN MATI SECARA DITEMBAK di Pulau Nyamuk yg termasuk gugusan Kepulauan Sribu Daerah Djakarta-Raya.
Menurut sumber merdeka.com, dokumen itu seperti bentuk ringkasan putusan terhadap sebuah kejadian besar. Untuk keaslian dokumen, kata sumber itu, perlu diuji, karena tanpa kepala surat lembaga atau organisasi yang mengeluarkan putusan itu. "Ini jelas dokumen pribadi, tapi kalau isi perlu diuji lagi," ujar sumber itu.
Dari catatan ANRI, pemilik dokumen bernama Marzuki Arifin, wartawan foto pernah meliput peristiwa 17 Oktober 1952, peristiwa Republik Maluku Selatan (RMS), hijrahnya Divisi Siliwangi, Angkatan Perang Rakyat Semesta (APRA) Westerling, Jawa Barat, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), DI/TI, dan pemakaman Jenderal Soedirman. Marzuki pernah bekerja do Harian Merdeka pada 1968 dan menjadi pemimpin redaksi Majalah Ekspres pada 1969-1974.
Sejarawan Universitas Indonesia, Rushdy Hoesein yang katanya akrab dengan Marzuki Arifin, baru mengetahui informasi itu. "Marzuki Arifin, tidak pernah bicara hal itu kepada saya. Tapi semua yang terkait Kartosoewirjo masih memungkinkan sampai saat ini," katanya kepada merdeka.comsaat ditemui di rumahnya, Bintaro, Jakarta selatan.
Hingga tulisan ini turun, Marzuki belum bisa dihubungi.
Buku setebal 91 halaman ini bukan sekadar memuat 81 foto merekam jejak terakhir pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia itu. Mulai dari penangkapan hingga eksekusi dan pemakaman. Namun paling mengejutkan, politikus Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) ini menyebutkan eksekusi sekaligus penguburan jenazah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo berlangsung di Pulau Ubi pada 12 September 1962.
Selama ini, banyak pihak, termasuk keluarga meyakini lelaki yang dijemput ajal pada usia 57 tahun itu ditembak mati dan dimakamkan di Pulau Onrust. "Sekarang mana yang benar, di Onrust atau Pulau Ubi? Katanya selama ini di Onrust, saya selalu ke sana," kata Sardjono, putra bungsu Kartosloewirjo dari lima bersaudara kepada merdeka.com di Garut, Sabtu pekan lalu.
Hasil penelusuran Sniper Techno menemukan Pulau Ubi yang dimaksud Fadli, sesuai keterangan foto, ternyata ada dua, yakni Ubi Besar dan Ubi Kecil. Dua-duanya sudah tenggelam, bahkan jauh sebelum eksekusi atas Kartosoewirjo. "Pulau Ubi Kecil tenggelam pada 1949 dan Pulau Ubi Besar hilang pada 1956," ujar Lurah Pulau Untung Jawa Agung Maulana Saleh ketika ditemui terpisah Senin lalu dalam acara Lebaran Betawi di kelapa Gading, Jakarta Utara.
Ternyata tidak hanya Fadli yang memiliki arsip saat-saat terakhir kematian lelaki kelahiran Cepu, Jawa tengah, itu. Kumpulan foto serupa tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Bedanya, 28 foto ini tanpa keterangan dan ditempel di atas kertas berukuran folio.
Selain arsip foto, ada beberapa dokumen terkait Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan eksekusi mati Kartosoewirjo. Salah satunya menyebutkan lokasi eksekusi dan pusara Kartosoerwirjo di Pulau Nyamuk. Seperti Onrust, Ubi Besar, dan Ubi Kecil, pulau ini di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara.
Tulisan di atas kertas sudah berwarna kekuningan itu menggunakan mesin ketik tanpa kop sebuah lembaga. Dokumen ini merupakan putusan majelis hakim Mahkamah Angkatan Darat dalam Keadaan Perang untuk Djawa dan Madura diberi judul 'Pelaksanaan Hukuman Mati'
PELAKSANAAN
HUKUMAN
***MATI***
Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
yang menamakan dirinya Imam Negara Islam Indonesia (D.I)
Penjelasan:
1. Mahkamah Angkatan Darat dalam keadaan perang untuk Djawa dan Madura (MAHADPER) yang khusus dibentuk dan bertugas untuk mengadili pemimpin gerombolan D.I S.N. Kartosoewirjo, telah bersidang sejak tgl 14 Agustus 1962 sampai 16 Agustus 1962 di bangsal (Aula) Departemen Angkatan Darat Merdeka Barat Djakarta. Telah mendjatuhkan HUKUMAN MATI terhadap S.N. Kartosoewirjo.
2. Permohonan GRASI kepada Kepala Negara RI (Presiden Sukarno) telah ditolak pada tgl 12 September 1962.
3. Setelah ditolak, S.N. Kartosoewirjo mendjalankan HUKUMAN MATI SECARA DITEMBAK di Pulau Nyamuk yg termasuk gugusan Kepulauan Sribu Daerah Djakarta-Raya.
Menurut sumber merdeka.com, dokumen itu seperti bentuk ringkasan putusan terhadap sebuah kejadian besar. Untuk keaslian dokumen, kata sumber itu, perlu diuji, karena tanpa kepala surat lembaga atau organisasi yang mengeluarkan putusan itu. "Ini jelas dokumen pribadi, tapi kalau isi perlu diuji lagi," ujar sumber itu.
Dari catatan ANRI, pemilik dokumen bernama Marzuki Arifin, wartawan foto pernah meliput peristiwa 17 Oktober 1952, peristiwa Republik Maluku Selatan (RMS), hijrahnya Divisi Siliwangi, Angkatan Perang Rakyat Semesta (APRA) Westerling, Jawa Barat, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), DI/TI, dan pemakaman Jenderal Soedirman. Marzuki pernah bekerja do Harian Merdeka pada 1968 dan menjadi pemimpin redaksi Majalah Ekspres pada 1969-1974.
Sejarawan Universitas Indonesia, Rushdy Hoesein yang katanya akrab dengan Marzuki Arifin, baru mengetahui informasi itu. "Marzuki Arifin, tidak pernah bicara hal itu kepada saya. Tapi semua yang terkait Kartosoewirjo masih memungkinkan sampai saat ini," katanya kepada merdeka.comsaat ditemui di rumahnya, Bintaro, Jakarta selatan.
Hingga tulisan ini turun, Marzuki belum bisa dihubungi.
Article Information